Parvovirus adalah virus yang menyebabkan penyakit yang
sangat menular pada anjing. Virus parvo pada anjing disebut sebagai canine
parvo virus tipe-2 (CPV-2) dan termasuk ke dalam virus DNA tak berselubung (non
envelope). Ras anjing yang sangat rentan terhadap infeksi CPV-2 adalah doberman,
rottweiler, dan labrador retriever. Infeksi CPV-2 paling parah terjadi pada
anjing di bawah umur 12 minggu karena pada umur ini sel-sel tubuh sangat aktif
bermitosis dan CPV-2 menyerang virus yang sedang bermitosis, selain itu pada
umur ini imunitas maternal mulai hilang (Dharmojono 2001).
Patofisiologi
CPV-2 menginfeksi anjing lewat oronasal kemudian virus akan
melakukan replikasi di dalam jaringan limfoid dari orofaring dan thymus.
Setelah replikasi virus akan menyebar ke jaringan limfoid, sumsum tulang,
kelenjar dan epitel usus, serta sistem hematopoetik. Viremia terjadi 1-5 hari
setelah infeksi. CPV-2 menghancurkan sel-sel leukosit dan limfosit yang yang
sedang aktif bermitosis dalam peredaran darah sehingga anjing menderita
neutropenia dan limfopenia. Di dalam usus virus berpindah dari epitel germinal
ke kelenjar intestinal menuju ujung-ujung vili usus kecil dan menyebabkan
kerusakan vili usus dan kelenjar intestinal usus (Dharmojono 2001).
Gejala klinis
Infeksi oleh CPV-2 akan memperlihatkan gejala yang
digolongkan menjadi radang otot jantung (myocarditis) dan radang usus
(enteritis). Gejala myocarditis terjadi pada anjing yang terinfeksi virus parvo
sudah sejak kandungan dan induk belum pernah mendapatkan vaksin parvovirus.
Pada kondisi ini semua anak anjing sekelahiran akan menderita myocarditis.
Infeksi CPV-2 menyebabkan pembengkakan atau pembesaran jantung sehingga jantung
tidak mampu mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Gejala enteritis hampir
diderita semua anjing yang terinfeksi CPV-2. Radang usus yang disebabkan CPV-2
berjalan sangat cepat, terkadang 2 hari pasca infeksi korban sudah mati atau
dalam keadaan shock berat disebabkan sepsis oleh bakteri gram negatif atau
adanya koagulasi di dalam pembuluh darah. Gejala khas pada anjing yang terinfeksi
CPV-2 yaitu muntah berat, diare, anorexia, dehidrasi, feses berwarna abu
kekuningan-kuningan kadang bercampur darah. Sedangkan pada kasus yang berat
gejala tersebut ditambah dengan demam, leukopenia, dan limfopenia.
Diagnosa penunjang
Kasus diare berdarah yang disertai ataupun tidak dengan
muntah patut dicurigai sebagai penyakit akibat parvovirus. Secara histologi
CPV-2 menunjukkan lesi-lesi dalam jaringan jejenum, ileum, limfoglandula
mesenterika, dan jaringan limfoid lainnya. Imunofluoresen dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi CPV-2 dalam usus kecil, jantung, kelenjar thymus, limpa, dan
limfoglandula lain. Diagnosa CPV dapat dipastikan apabila setelah 3 hari atau
lebih setelah anjing menunjukkan gejala klinis titer HI (inhibition of
hemaglutination) dalam darah tinggi. Selain itu dapat pula digunakan ELIZA
antigen test yang spesifik terhadap CPV.
Pencegahan
Pencegahan terhadap parvovirus pada anjing dilakukan dengan
cara vaksinasi pada umur 6, 9, dan 12 minggu, kemudian dilakukan pengulangan setiap
tahunnya.
Terapi
Hubungi dokter hewan terdekat. Terapi dapat dilakukan dengan
memberikan Infus Ringer Dextrose iv, vitamin ADE im, Hematopan® 1 ml/5 kg bb
im, Metoclopramide 0.2 mg/kg bb iv. Ringer dextrose diberikan pada penderita
yang mengalami kekurangan elektrolit dan menderita muntah. Hematopan®
mengandung natrium kakodilat, besi (III) amonium sitrat, metionin, histidin,
triptopan,dan vitamin B12. Hematopan® baik untuk penderita yang mengalami semua
gangguan kekurangan darah (ASOHI 2005).
Metoclopramide merupakan parasimpatomimetik yang berfungsi
meningkatkan motilitas saluran gastrointestinal bagian atas tanpa mempengaruhi
sekresi asam lambung. Sehingga metoclopramide berfungsi untuk mengurangi muntah
pada kasus gastritis. Metoclopramide dapat diberikan 3-4 kali sehari baik
secara po ataupun iv (Bishop 1996). Pemberian vitamin A, D dan E bertujuan
untuk meningkatkan proses persembuhan, meningkatkan absorbsi kalsium dan fosfor
dari saluran pencernaan serta pemeliharaan kadar kalsium dan fosfor dalam
darah, serta sebagai antioksidan.
Menurut Dharmojono (2001), pasien dengan infeksi CPV-2 tidak
diberi makan selama 24-48 jam sejak timbulnya muntah dan diare. Air minum
diberikan setelah 24 jam. Selama terjadi gejala muntah dan diare diberikan
terapi cairan elektrolit secara intravena, terutama pada kasus yang disertai
dehidrasi. Jumlah cairan infus adalah 60 ml/kg bb/hari untuk mengimbangi adanya
dehidrasi serta mengganti cairan tubuh yang hilang. Muntah dan diare akan
menguras natrium chloride, bicarbonate, dan kalium sehingga pasien akan
menderita acidosis. Untuk itu diperlukan larutan isotonik dengan elektrolit
imbang seperti Lactated Ringer’s solution dan ditambahkan dengan larutan KCL
(potasium chloride) karena banyaknya unsur K yang hilang.
Penggunaan antimikroba akan menghambat flora dalam alat
pencernaan dan tetapi dapat digunakan apabila ditemukan radang gastrointestinal
dengan ditemukannya sel-sel gastrointestinal dalam sampel fesesnya, mukosa usus
rusak dengan gejala darah dalam feses, ada demam sistemik dan leukositosis,
serta kultur bakteri di dalam feses positif. Antimikroba yang digunakan adalah
antimikroba dengan spektrum luas seperti generasi pertama Cephalosporin atau
kombinasi Ampisillin dengan Gentamisin.
Penggunaan obat antiemetik dan antidiare hanya digunakan
pada kasus berat, yaitu apabila muntah dan diare terjadi secara terus menerus.
Obat antiemetik yang dapat digunakan adalah Phenothiazine, Chlorpromazin (obat
ini tidak boleh digunakan pada hewan yang menderita dehidrasi atau hipotensi),
dan Metoclopramide (obat ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan
komplikasi penyakit susunan syaraf pusat, diberikan bersama Phenotiazine atau
analgesik yang bersifat narkotik, serta pasien berumur kurang dari 3 bulan).
Obat antidiare yang dapat digunakan yaitu Paregoric, Diphenoxylate
hydrocloride, dan Loperamide-HCl.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar