Selasa, 20 Mei 2025

Tentang Kami



Klinik Hewan yang berdiri pada tanggal 13 September 2014 di Kota Bekasi. Kini memiliki 4 (empat) cabang di Jakarta & Bekasi.

Berikut alamat lengkap ke 4 (empat) lokasi klinik kami :


CABANG BEKASI
πŸ“ Summarecon
Topaz TC B No.17, Harapan Mulya, Medan Satria
Kota Bekasi, Jawa Barat 17413
Telp. 0811-129-2024 (Call/ WhatsApp)

πŸ“ Jatibening
Komplek Ruko Jatibening Plaza No.7-8.
Jl. Caman Raya No.117 Simpang 5, Jatibening, Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat 17412
[ Petunjuk Arah ]
Telp. (021) 2210-7185 - 0812-8273-2003 (WhatsApp)

CABANG DKI JAKARTA
πŸ“ Buaran
Jalan Duren Sawit Blok J II No. 6, Klender, Duren Sawit, Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta 13470 
[ Petunjuk Arah ]
Telp:  (021) 2298-2483 - 0811-963-4008  (WhatsApp)

πŸ“ Rawamangun

Jl. Pinang Raya No.33, RT.4/RW.8, Rawamangun, Kec. Pulo Gadung, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13220

[ Petunjuk Arah ]
Telp: (021) 2247-3081 - 0812-9031-1313 (WhatsApp)

Layanan Kami : 


Ingin Melihat Suasana di Klinik Kami Klik Logo Youtube di bawah ini



#Awal Care is Your Pet Solution!





Bronchopneumonia pada kucing

 





Definisi

Bronkopneumonia merupakan konsekuensi dari proses penyakit lain atau cedera pada paru- paru yang memungkinkan populasi bakteri dari sistem pernapasan untuk berkembang biak. Dalam situasi lain, masuknya organisme lain ke dalam sistem pernapasan dapat mempercepat perkembangan bronkopneumonia.

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Organisme yang biasanya terletak di dalam sistem pernapasan, dan yang kemudian siap untuk berkembang biak dalam keadaan yang tepat, biasanya adalah aerob gram negatif dan termasuk Pasturella, Klebsiella, Proteus spp. dan E. Coli. Organisme Staphylococcus dan Streptococcus Gram positif juga dapat hadir. Kehadiran agen Pseudomonal, dan organisme anaerobik seperti Nocardia, Actinomyces, dan Bacteroides spp dianggap sebagai organisme penyerang, sementara peran pasti Mycoplasma spp dalam pneumonia tidak diketahui.

Organisme ini akan berkembang biak ketika ada aspirasi makanan atau isi perut, jika infeksi pernapasan primer primer (tidak terkendali) hadir dan jika ada penyakit pernapasan kronis yang sudah berlangsung lama, seperti bronkitis kronis. Peran penuaan, imunokompromi, dan penyakit sistemik dalam perkembangan bronkopneumonia diakui dengan baik pada manusia, tetapi tidak sepenuhnya ditandai pada anjing dan kucing.

Peneguhan Diagnosa

Diagnosis dicapai dengan mempertimbangkan semua aspek presentasi klinis dan hasil dari semua tes diagnostik. Sudah diterima bahwa ketergantungan pada tes diagnostik tunggal tidak mungkin memungkinkan diagnosis dibuat.

Riwayat klinis itu penting. Perkembangan batuk yang cepat, takipnea, dispnea, ortopnea, kelesuan, anoreksia, dengan atau tanpa pireksia, pada hewan yang sehat, akan menimbulkan kecurigaan bronkopneumonia, setelah tidak ada bukti gagal jantung kongestif atau efusi pleura. Kecurigaan akan meningkat lebih lanjut jika pasien telah muntah atau muntah, memiliki riwayat penyakit pernapasan baru-baru ini atau kronis, penyakit gastrointestinal atau telah berhubungan dekat dengan anjing lain (kandang).

Pemeriksaan Fisik akan memberikan petunjuk diagnostik lainnya (tergantung pada tingkat keparahan dan tingkat penyakit). Secara khusus, pengecualian penjelasan jantung untuk presentasi klinis sangat penting. Pasien harus diperiksa untuk bukti pola pernapasan abnormal, termasuk peningkatan laju pernapasan (mengabaikan terengah-engah) dan peningkatan upaya, suara pernapasan yang terdengar (rhonchi, berderak dan mengi), batuk yang dapat menimbulkan mencubit trakea atau perkusi dada dan adanya pireksia.

Tes diagnostik tambahan yang dapat membantu diagnosis termasuk radiograFi toraks, analisis gas darah, pengambilan sampel saluran udara, bronkoskopi dan analisis sitologi sampel pencucian bronkial dan bronko-alveolar, dan proFil hematologi dan biokimia rutin. Dari tes radiograFi ini adalah yang paling banyak digunakan dan sering kali berdasarkan temuan radiograFi bahwa diagnosis tentatif (bukan deFinitif) dapat dibuat. Proyeksi lateral kanan dan kiri dan ventro-dorsal harus diperoleh. Kehadiran kepadatan alveolar, dengan bronkogram udara dan distribusi kranio-ventral, sangat menunjukkan bronkopneumonia, dan pada pasien yang dikompromikan parah adalah alasan yang cukup untuk membuat diagnosis tentatif dan melembagakan terapi intensif. 

Pertimbangan diferensial radiograFi utama adalah edema paru, tetapi jika tidak ada bukti penyakit jantung, akan masuk akal untuk mengecualikan penjelasan ini. Di bagian dunia tertentu pneumonia mikotik perlu dipertimbangkan. Pengumpulan sampel saluran udara untuk mengkonFirmasi peradangan yang ada (neutroFil, makrofag) dan untuk mendapatkan bahan untuk kultur dan pengujian sensitivitas, dapat dilakukan tergantung pada status klinis pasien. Hal ini dapat dicapai dengan pengambilan sampel trans-trakea pada pasien yang dikompromikan dan dengan bronkoskopi pada pasien yang kurang terpengaruh parah.

Penanganan

Terapi antibakteri adalah andalan dari keberhasilan pengobatan bronkopneumonia bakteri. Karena diketahui bahwa ada tingkat probabilitas yang tinggi bahwa aerob gram negatif terlibat, maka pemilihan agen antibakteri, dengan aktivitas kuat terhadap organisme tersebut, seperti Fluoroquinolone, secara murni empiris akan tampak sehat. Selanjutnya, jika diakui bahwa anaerob juga dapat terlibat, dan bahwa organisme semacam itu terkenal sulit untuk dikultur, maka pemilihan empiris agen antibakteri untuk menargetkan organisme tersebut akan kembali menjadi penilaian yang baik.

Menggunakan pedoman ini, antibakteri yang sesuai untuk mengobati bronkopneumonia bakteri termasuk sulfonamida yang dipotensiasi, sefalosporin, Fluorokuinolon, klindamisin, dan metronidazol. Terapi antibiotik harus dilanjutkan hingga 2-3 minggu setelah resolusi tanda- tanda klinis dan dalam beberapa kasus harus diberikan hingga 8 minggu. Jika setelah beberapa terapi antibakteri yang berkepanjangan tidak ada resolusi dan patologi telah terlokalisasi ke satu lobus paru-paru maka lobektomi harus dilakukan karena memberikan kesempatan terbaikuntuk penyembuhan total.

 Awalnya, pemberian agen antibakteri lebih disukai melalui rute intra-vena, dan di ujung atas kisaran dosis yang direkomendasikan. Terapi pemeliharaan berikutnya diberikan secara oral. Terapi antibakteri yang efektif pada kasus pneumonia yang parah tergantung pada intervensi yang cepat, karena penurunan fungsi paru-paru yang serius atau mengancam jiwa dapat terjadi dalam beberapa jam.

Pertimbangan utama lainnya dalam pengobatan kasus bronkopneumonia yang efektif adalah perawatan suportif yang memadai. Ini termasuk merawat kebutuhan diet dan cairan pasien, menjaga kehangatan dan kenyamanan, mengubah posisi pasien secara berkala untuk mencegah atelektasis posisional, dan menyediakan oksigen tambahan. 

Terapi cairan intravena diperlukan untuk menjaga hidrasi yang tepat, karena pasien cenderung mengalami adipsik dan anoreksia, tetapi juga karena akan ada kehilangan cairan dari saluran udara sebagai konsekuensi dari peningkatan upaya pernapasan. Penggunaan Fisioterapi (coupage) akan bermanfaat, karena akan memungkinkan sekresi kental kental bergerak secara rostrally dan bahan tersebut kemudian dapat dikeluarkan dengan batuk.

Penggunaan bronkodilator, seperti agonis Ξ²-adrenoreceptor dan methylxanthines, kontroversial dan manfaatnya diragukan. Penggunaan antitusif, seperti kodein, harus dihindari, karena batuk adalah mekanisme perlindungan yang penting dalam kasus pneumonia. Agen anti-inFlamasi cenderung tidak digunakan dalam mengobati bronkopneumonia bakteri, tetapi dapat digunakan dalam mengendalikan pireksia.




Senin, 12 Mei 2025

PENANGANAN KASUS PANLEUKOPENIA PADA KUCING

 


Oleh : Yandra Pratama

Mahasiswa Magang jurusan Peternakan & kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuah




2.1    Feline panleukopenia virus (FPV)

Feline panleukopenia (FPV) adalah sindrom penyakit klinis yang disebabkan oleh infeksi carnivore protoparvovirus 1. Deteksi urutan DNA mirip parvovirus endogen yang terdapat dalam genom dari sejumlah spesies karnivora memberikan bukti bahwa parvovirus kemungkinan telah hidup di dalam tubuh karnivora selama jutaan tahun. Feline panleukopenia adalah penyakit virus yang paling lama telah diketahui pada kucing (Barrs, 2019). Leal et al. 2020) juga menyatakan bahwa carnivore protoparvovirus 1 merupakan anggota famili Parvoviridae (subfamili Parvovirinae, genus Protoparvovirus). Protoparvovirus adalah virus ikosahedral berukuran kecil yang tidak terbungkus amplop dan memiliki genom DNA untai tunggal.

Penularan dari kucing sakit ke kucing sehat selain melalui fekal-oral dapat juga melalui muntahan, urin, leleran mata, maupun leleran hidung. Virus panleukopenia masuk ke dalam tubuh dan bereplikasi pada sel yang aktif membelah seperti sumsum tulang belakang, jaringan limfoid, epitel usus halus, cerebellum, dan retina pada kucing neonatal sehingga menyebabkan panleukopenia, ataksia, inkoordinasi gerak, maupun gangguan penglihatan pada hewan muda (Truyen et al., 2009).

Kucing yang dipelihara sejak kecil memiliki kemungkinan lebih kecil terjangkit feline panleukopenia. Kucing yang dipelihara sejak kecil bersama dengan induknya biasanya memiliki antibodi maternal yang cukup. Bila induk kucing sudah divaksin, maka kucing tersebut akan memiliki kekebalan terhadap infeksi FPV (Putri et al., 2020).

Klasifikasi virus (Leal et al., 2020): Grub :Grub II (Virus DNA untai tunggal) Famili : Parvoviridae

Sub famili : Parvovirinae

Genus : Protoparvovirus

Spesies : Virus Feline Panleukopenia

2.1    Gejala Klinis dari FPV

Anak kucing dan kucing muda dengan gejala klinis demam dan vomit dapat dicurigai. Anak kucing yang terlahir dengan penyakit cerebellar, memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi terhadap penyakit ini. Penyakit berlangsung akut dengan masa inkubasi 2-9 hari. Penderita tidak mau makan, lesu, muntah, demam, dan mengalami dehidrasi. Selaput lendir mulut dan pangkal tekak kering, mengalami kongesti, bau mulut busuk (foetor ex ore), saat palpasi daerah abdomen terasa penebalan usus. Beberapa mengalami diare. Kebanyakan ususnya kosong, dan berisi detritus bewarna kuning (Sandi, 2022).

Feline panleukopenia ditandai dengan gejala awal yang khas, yaitu demam, depresi, dan anoreksia. Kucing awalnya mungkin muntah dengan frekuensi yang lebih rendah, kemudian berkembang menjadi diare hingga perdarahan. Kucing yang mati karena penyakit ini dapat disebabkan oleh komplikasi dari infeksi bakteri sekunder, sepsis, dan dehidrasi. Angka kematian pada kasus ini mencapai 25-90% pada kasus akut, sedangkan pada infeksi akut adalah 100% (Carney et al., 2012).

2.1    Penanganan FPV

Disini kucing yang terkena FPV bernama Ninuk dan ras domestik yang di ruang infeksius klinik hewan awal care cabang buaran dengan keadaan lemas, penurunan nafsu makan, muntah dan diare.

Penanganan dilakukan oleh dokter hewan dan paramedic secara langsung di klinik selama 8 hari. Selama 8 hari tersebut dokter hewan dan paramedik melakukan pengobatan secara rutin agar kesembuhan kucing tersebut maksimal, Pengobatan yang diberikan pada kucing ninuk tersebut melalui oral dan injeksi.

Pada kasus ini ada beberapa pemberian obat seperti antibiotic, multivitamin, anti muntah, terapi cairan infus, dan anti diare.

Tujuan pemberian obat antibiotik adalah untuk mencegah atau mengobati infeksi dengan cara menurunkan dan mengeliminasi bakteri sampai daya tahan tubuh sendiri dapat mengatasi organisme pathogen tersebut. Multivitamin diberikan untuk meningkatkan daya tahan tubuh, memperbaiki metabolism tubuh dan membantu mempercepat pertumbuhan. Anti muntah dan anti diare diberikan hanya ketika ada gejala muntah dan diare simptomatik sedangkan pemberian terapi cairan infus bertujuan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang akibat muntah dan diare. Terapi cairan diberikan kira-kira sekitar 50 ml/kg berat badan per hari.

3.1    Kesimpulan

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan klinis yang dilakukan pada kucing Ninuk, diagnose mengarah pada feline panleukopenia virus. Diagnose tersebut juga berdasarkan temuan di rawat inap dimana kucing Ninuk mengalami muntah, diare, lemas, dan tidak mau makan. Kucing tersebut belum pernah di vaksin. Pengobatan yang dilakukan dengan pemberian antibiotic, anti muntah, anti diare, multivitamin dan terapi cairan infus.


DAFTAR PUSTAKA

Arlis,      S.      (2017). Diagnosis      Penyakit      Radang      Sendidengan Metode

Certainty factor. Sains -Sains dan Teknologi Informasi, 3(1).

Barrs, V. R. 2019. Feline panleukopenia A Re-emergent Disease. Vet Clin North Am Small Anim Pract. 49(4):651-670.

Carney, Hazel C., Little, Susan, Brownlee T., Dawn, Harvey, Andrea M., Mattox, Erica, Robertson, Sheilah, Rucinsky, Renee, Manley, Donna S. (2012). AAFP and ISFM feline-friendly nursing care guidelines. Journal of Feline Medicine and Surgery, 14(5), 337–349.

Decaro, N., Buonavoglia, D., Desario, C., Amorisco, F., Colaianni, M. L., Parisi, A., Terio< V., Elia, G., Lucente, M. S., Cavalli, A., Martella, V., & Buonavoglia, C. (2010). Characterisation of canine parvovirus strains isolated from cats with feline panleukopenia. Research in veterinary Science, 89(2), 275-278.

Hartmann, K. (2017). Felin Panleukopenia Update on Prevention. The Thai Journal of Veterinary Medicine, 47, S101-S104.

Kusumawardhani, S>W., Chandra A.H., Yehuda L>A., dan Viska M. Widyaastuti.2019. Catatan Dokter Hewan: Penyakit Infeksius pada Kucing. IPB press. Bogor. 1-14.

Leal, E., Liang R., Liu Q., Villanova, F., Shi, L., Liang, L., Li J., Witkin, S. S., Cui, S. 2020. Regional adaptations and parallel mutations in Feline 24 panleukopenia virus strains from China revealed by nearly-full length genome analysis. Plos One. 15(1):1-15.

Putri R, Sumiarto B, Mulyani GT. 2020. Faktor-Faktor Resiko Panleukopenia pada Kucing Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner 38(3): 206-213.

Sandi.2022.penganganan kasus panleukopenia pada kucing di Klinik Hewan Jogja.Universitas Jambi.

Syafriati, T. A. T. T. Y. (2004). Deteksi Antibodi Penyakit Feline Panleukopenia Pada Kucing Dengan Menggunakan Teknik Elisa. Semin. Nas. Teknol. Peternak. dan Vet, 761-766.

Truyen U, Addie D, Belak S, Boucraut-Baralon C, Egberink H, Frymus T, Gruffydd-Jones, Hartmann K, Hosie MJ, Lloret A, Lutz H, Marsilio F, Pennisi MG, Radford AD, Thiry EL, Horzinek MJ. 2009. Feline Panleukopenia Abcd Guideline on Prevention and Management. Journal of Feline Medicine and Surgery 11: 538-546.


Sabtu, 03 Mei 2025

PENANGANAN ABSES PADA KUCING

 





Hewan kesayangan merupakan salah satu hewan yang dapat memberikan kenyamanan dan kebahagiaan bagi manusia. Kucing biasanya akan menggunakan cakar dan gigitannya untuk melawan musuh dan perlindungan diri sehingga akibat dari perkelahian tersebut adalah timbulnya luka.

Luka atau vulnus adalah hilangnya atau rusaknya sebagian komponen jaringan tubuh. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul antara lain hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respons stres simpatis, perdarahan, pembekuan darah, kontaminasi bakteri, dan kematian sel. Luka merupakan salah satu gangguan yang menyebabkan kulit kehilangan struktur kompleksnya. Trauma fisik maupun kimiawi dapat menyebabkan terjadinya luka. Luka dapat dibedakan berdasarkan penyebab dan karakteristik luka. Berdasarkan penyebabnya, terdapat Vulnus contussum (luka memar), Vulnus abrasi (luka lecet), Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), Vulnus schlopetum (luka tembak), Vulnus morsum (luka gigitan), Vulnus incisivum (luka sayat). Luka yang dibiarkan terlalu lama dan tidak diobati akan menyebabkan terjadinya abses.

Abses merupakan suatu keadaan dimana terjadi penumpukan nanah yang terjadi didalam rongga tubuh yang terlokalisir akibat adanya infeksi dari supurasi jaringan. Umumnya infeksi dapat ditandai dengan muncul bengkak dan kemerahan. Secara umum, abses pada kucing disebabkan oleh bakteri piogenik (menghasilkan nanah) seperti Staphylococcus. Infeksi oleh Staphylococcus dapat menyebabkan keradangan dan terjadinya pengeluaran toksin. Toksin tersebut menyebabkan sel radang dan sel darah putih menuju ke tempat terjadinya peradangan atau infeksi sehingga terbentuknya dinding abses yang berguna untuk mencegah infeksi meluas ke bagian tubuh lainnya. Penanganan pada kasus abses di kucing sangat beragam tergantung dari seberapa besar luka yang ditimbulkan dan seberapa dalam luka tersebut. Oleh karena itu, dilakukan pengamatan untuk melihat perkembangan dan penanganan abses pada paha kucing.

Anamnesa dan Sinyalemen

Seekor kucing Betina bernama Skuby dibawa oleh pemiliknya ke Klinik Hewan Awal Care Rawamangun dengan kondisi pincang saat berjalan, bengkak area ektremitas depan, masih aktif dan nafsu makan masih bagus.

Pemeriksaan Fisik

Berat badan 3.2 kg, suhu tubuh 39.0ΒΊC, dan bengkak area ekstremitas depan, pincang saat berjalan, masih aktif.

Diagnosa

Diagnosa dari kucing Skuby adalah Abses yang disebabkan oleh luka yang dibiarkan tanpa penanganan lalu terjadi penumpukan nanah dengan prognosa Fausta

Penanganan dan Teatment

Penanganan awal yaitu cukur dan membersihkan area yang akan di incisi hingga mengeluarkan nanah.

Treatment dilakukan mulai tanggal 7 April 2025 dengan dressing luka pagi dan sore, pemberian racikan antibiotik 1 cap PO SID, racikan antiradang 1 cap PO SID, dan suplemen kulit 1 cap PO SID.

Hari ke 6 kondisi luka Skuby sudah sangat baik, sudah menutup namun masih sedikit lembab, nafsu makan lahap, suhu normal 38.5 dan pulang pada hari ke 7 dijemput oleh ownernya dengan kondisi baik dan luka sudah sembuh.

Kesimpulan

Abses merupakan suatu keadaan dimana terjadi penumpukan nanah yang terjadi didalam rongga tubuh yang terlokalisir akibat adanya infeksi dari supurasi jaringan. Umumnya infeksi dapat ditandai dengan muncul bengkak dan kemerahan.